HIKMAH NASIHAT : HATI YANG SENANTIASA BERSYUKUR (Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A.)
https://www.youtube.com/live/ihTnYQFgdrE?feature=share
HATI YANG SENANTIASA BERSYUKUR
Jum’at, 11 Agustus 2023 – Khutbah Jum’at di Masjid Agung Sunda Kelapa pekan ini disampaikan oleh Khatib Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. yang merupakan Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. menyampaikan dalam Khutbahnya dengan tema “Hati Yang Senantiasa Bersyukur” bahwa Ajaran Islam menganjurkan umat agar mengembangkan seluruh aspek kehidupan, yakni : sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya. Namun semua itu bukan tujuan, tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai kehidupan bahagia di akhirat. Kehidupan di dunia layaknya seperti orang yang bercocok tanam yang akan dipanen hasilnya di akhirat.
Imam Al-Ghazali menggambarkan kehidupan di dunia seperti orang yang mampir sebentar ke sebuah pulau untuk mengambil perbekalan guna melanjutkan perjalanan menuju sebuah pulau idaman. Dalam bagian lain Imam Al-Ghazali mengingatkan, bahwa kehidupan di dunia layaknya seperti lautan yang dalam, banyak orang yang karam tenggelam dalam mengarungi lautan itu, maka orang tersebut harus punya bahtera, agar selamat sampai ke pulau idaman. Kapal tersebut harus memiliki nakhoda yaitu iman, sedangkan dayungnya takwa, dan layarnya adalah tawakkal kepada Allah.
Selanjutnya ajaran Islam juga mengingatkan bahwa yang akan membawa keselamatan di akhirat adalah hati yang selamat (qalbun salim); yaitu hati yang menjadi nakhoda kapal kehidupan, hati yang diisi keimanan kepada Allah, hati yang tidak tergoda oleh syahwat, hawa nafsu dan bujukan setan; hati yang tidak tergoda oleh bujuk rayu kemewahan dunia yang menyebabkan manusia lalai (ghafilun). Orang yang lalai adalah orang yang memiliki segala sesuatu, harta benda, jabatan, nama besar, dan, lain sebagainya. Namun mereka lupa dan tidak cerdas untuk menggunakan semua hal tersebut sebagai alat untuk investasi di akhirat. Karena ia lalai dan tidak cerdas, maka ia hanya menumpuk kekayaaan dan kemewahan, tidak membelanjakannya untuk akhirat yang sesungguhnya menjadi miliknya yang hakiki. Ia lupa hingga meninggal dunia tanpa sempat membawa harta ke akhirat lewat amal jariyah, mereka gagal melawan kekikirannya, mereka tidak tersentuh oleh panggilan beramal untuk akhirat. Hati yang demikian itulah hati yang sakit, yang menyebabkan ia lalai berinvestasi akhirat. Orang inilah yang disebut al-ghafilun, yaitu orang yang lalai, yang kelak menjadi penghuni neraka jahannam. Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ
Artinya: Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (Q.S. al-A’raf, 7:179).
Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi, Jilid III, juz ke-8, halaman 117 menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “inna ahl al-naar humul aghginyaau al-jaahiluuna al-ghaafilun al-ladziina laa yasta’miluuna uqulahum fi fiqhi haqaaiq al-umum wa absharahum wa asmaaahum fi istinmbaathi al-maarif wa istifaaditil ulum wa laa fi ma’rifati aayaatillah al-kauniyah wa aayaatihi al-tanziliyah wa huma sababu kamaalik al-imaani wa al-baaitsi al-nafsi ala kamaali al-maani”: Bahwa penghuni neraka itu adalah orang-orang kaya yang tidak cerdas dan lalai, yang tidak mempergunakan akal pikirannya di dalam memahami hakikat segala sesuatu, dan tidak pula menggunakan akal dan pendengarannya untuk menggali pengetahuan dan memanfaatkan ilmu, dan tidak pula digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah yang bersifat al-kauniyah dan ayat-ayat-Nya yang bersifat tanziliyah, dan kedua-duanya menjadi penyebab sempurnanya iman.
Untuk itu upaya yang kita lakukan selama hidup di dunia ini adalah mengelola hati kita agar tidak menjadi orang yang lalai. Untuk itu caranya adalah :
Pertama, senantiasa memenuhi hati dengan rasa syukur, hati yang senantiasa menerima seberapa pun pemberian Allah dengan rasa lega dan memanfaatkannya untuk beribadah taat kepada Allah SWT, sehingga Allah akan menambahkan rezeki-Nya kepada kita. Allah SWT berfirman :
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (Q.S. Ibrahim, 14:7).
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi juz ke-19, jilid 7, halaman 130 menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan, “Jika kamu bersyukur terhadap nikmat kebahagiaan dan lainnya dengan cara mentaati apa yang Allah perintahkan kepada mereka dan menjauhi larangan-Nya, niscaya akan ditambahkan nikmat-Ku atas mereka.”
Kedua, dengan senantiasa menjaga hati agar tetap sehat, tidak terkena sifat-sifat yang buruk seperti iri, dengki, fitnah, dan sebagainya. Allah SWT berfirman :
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ
Artinya: (Yaitu) pada hari ketika tidak berguna (lagi) harta dan anak-anak.; 89. Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Q.S. al-Syuara, 26:89).
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi jilid 7 juz ke-9 menafirkan ayat tersebut, yaitu hari yang tidak akan ada gunanya harta benda walaupun banyak untuk menolak azab Allah, dan juga cucu, walaupun semuanya dikumpullan.
Ketiga, agar hati tetap selamat dan mengendalikan seluruh ucapan dan perbuatan kita, maka hati itu perlu dijaga agar tidak terpedaya oleh bujukan syahwat ekonomi, syahwat kekuasan, hawa nafsu, dorongan buruk, dan bujukan setan. Allah SWT mengingatkan kepada kita agar jangan terpedaya untuk mengikuti hawa nafsu, karena jika hawa nafsu ini yang diikuti maka akan membawa malapetaka, kerusakan, dan kesengsaraan. Allah SWT berfirman :
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ اَهْوَاۤءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ بَلْ اَتَيْنٰهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُّعْرِضُوْنَ ۗ
Artinya: Seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, niscaya binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya. Bahkan, Kami telah mendatangkan (Al-Qur’an sebagai) peringatan mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu. (Q.S. al-Mu’minun, 23:71).
“Untuk itu marilah kita jaga dan kita kelola hati agar senantiasa bersyukur, sehat, dan menjauh dari sifat yang buruk, dan menghindari dorongan hawa nafsu. Hati yang senantiasa bersyukur dan bersih itulah yang mengarahkan wawasan, sikap, dan perbuatan kita. Hal ini amat penting dan menjadi pegangan dan pengendali hidup kita, agar tidak tergelincir ke dalam perbuatan yang merugikan hidup kita dunia dan akhirat. Terutama bagi kita yang hidup di kota-kota besar, dan dalam arus globalisasi yang penuh dengan godaan. Amin,” ujar Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. sebagai penutup Khutbah Jum’at siang ini.