BULETIN MASK MEI – JUNI 2023
Nilai Kemanusiaan Melalui Tradisi Berqurban
(KH. Mukhlis Hanafi)
Dewan Pakar MASK
Dalam hitungan hari kita akan bertemu dengan Hari Raya Idul Adha. Hari agung nan mulia, karena Allah dan Rasul-Nya telah mengagungkan dan memuliakannya. Sebagai bukti keagungannya, Allah bersumpah dalam Al-Qur’an Surat Al-Fajr : 1-2 ; “Demi waktu fajar dan demi malam-malam yang sepuluh” (walfajri walayalin ‘asyr). Para ulama tafsir menjelaskan yang dimaksud adalah sepuluh malam dan hari pertama bulan Dzulhijjah. Dalam salah satu sabdanya Rasululah menegaskan, Tidak ada hari-hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah, bila melakukan amal saleh pada hari-hari itu, melebihi sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Maka, pesan Nabi, perbanyaklah zikir dengan mengucapkan kalimat tauhid, Lailahaillah, mengagungkan dan memuji-Nya dengan takbir dan tahmid (H.R Ahmad dari Ibnu Umar).
Ketika Idul Adha tiba, umat Islam di mana pun berada, menghidupkan sunah/tradisi baik yang dimulai sejak masa Nabi Ibrahim, yaitu kurban. Tradisi ini dilestarikan dalam Islam, bahkan sangat dianjurkan (sunnah mua’kkadah). Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A, Rasulullah bersabda:
‘’Berkurbanlah dan jadikan dirimu baik dengan kurban tersebut. Bila ada seorang Muslim yang memalingkan wajah sembelihannya ke kiblat, maka darah, kotoran dan bulu binatang tersebut akan menjadi pahala kebaikan yang akan dihadirkan dalam timbangannya di hari Kiamat’’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata kurban diartikan dengan beberapa makna, yaitu: pemberian untuk menyatakan kebaktian dan kesetiaan; binatang yang disembelih sebagai persembahan dan untuk mendekatkan hubungan dengan Tuhan. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Arab, qurban, yag berasal dari akar kata dengan huruf qaf, ra dan ba, dan memiliki makna yang berkisar pada kedekatan. Imbuhan an pada akar kata dasar qurb menunjukkan kedekatan yang sempurna.
Adapun Kata qurban ditemukan dalam Al Quran sebanyak tiga kali, yaitu Q.S Ali Imran [3]: 183, Q.S. Al Maidah [5]: 27, dan Q.S.Al Ahqaf [46]: 28,. Pakar bahasa Al Quran, Al Raghib al Ishfahani, mengartikannya sebagai “segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah”.
Dalam perkembangannya, kata qurban menjadi lebih spesifik bermakna hewan yang disembelih pada hari raya qurban/Idul Adha dan tiga hari sesudahnya (hari tasyriq) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam istilah keagaman, sembelihan itu dinamakan juga udhhiyah karena dilaksanakan dalam suasana Idul Adha.
Dalam tradisi masyarakat Arab jahiliah, mereka biasa mempersembahkan kurban atau lainnya kepada berhala-berhala, terutama yang ada di sekeliling ka’bah dan menganggap itu sebagai cara mendekatkan diri kepada Tuhan (Q.S. Al Zumar [39]:3). Di antara kebiasaan mereka, jika seekor domba betina beranak betina, anak betina itu diambil pemiliknya, tetapi apabila anak yang lahir itu jantan, ia akan dipersembahkan kepada tuhan mereka. Dan apabila domba itu melahirkan jantan dan betina, anak yang jantan tidak disembelih dan dipersembahkan kepada tuhan mereka. Mereka malah menyembelih anak betina dengan anggapan bahwa anak betina itu cukup mewakili untuk “menyampaikan” persembahan itu kepada Tuhan. Anak betina itu kemudian mereka namakan washilah (dari kata washala: ‘menyambungkan’, ‘menyampaikan’)
Tradisi mempersembahkan sesuatu sebagai kurban sudah ada sejak awal sejarah kemanusiaan. Q.S. Al Maidah [5]: 27-31 menceritakan sejarah dua orang putra Nabi Adam As, yang disebut-sebut bernama Qabil dan Habil. Dalam beberapa literatur klasik dijelaskan bahwa kisah Qabil dan Habil bermula dari kebiasaan Nabi Adam mengawinkan anak-anaknya secara silang. Konon, Hawa, isteri Adam, setiap kali hamil melahirkan dua anak; anak laki-laki dan perempuan (kembar). Untuk menjaga kesinambungan keturunan. Adam mengawinkan anak perempuan dari satu kemabaran dengan anak laki-laki dari kembaran lain, begitu sebaliknya. Saudara kembar Qabil bernama Iqlima yang berparas cantik. Ketika diminta untuk dikawinkan dengan saudaranya yang lebih muda, Habil, ia tidak mau melepaskannya. Iqlima diperebutkan oleh Qabil dan Habil.
Untuk memutus siapa yang lebih berhak atas Iqlima, setelah tidak berhasil menyakinkan Qabil, Nabi Adam menggunakan mediasi kurban (persembahan) yang diharapkan dapat diterima oleh kedua belah pihak. Sesuai kebiasaan saat itu, kurban yang diterima ditandai dengan api dari langit yang menyambar dan memakannya. Sebaliknya, bila tidak diterima api tidak turun menyambarnya.
Sebagai seorang yang bekerja di sektor pertanian, Qabil mempersembahkan, beberapa tangkai bahan makanan. Alih-alih memilih yang terbaik dia malah mempersembahkan produk yang terburuk dengan satu keyakinan, diterima atau tidak, Iqlima akan tetap menjadi miliknya. Sebaliknya, Habil yang menekuni bidang peternakan memilih domba gemuk yang terbaik untuk menjadi persembahan. Ketika kurban keduanya diletakkan di sebuah bukit/gunung, api menyambar domba gemuk persembahan habil sebagai tanda diterimanya kurban tersebut. Allah menjelaskan alasan diterimanya kurban Habil adalah karena kadar keikhlasan dan ketakwaan yang lebih tinggi (Q.S. Al Maidah [5]: 27). Dari sini, kurban harus dalam bentuk yang sempurna, tidak cacat, dan harus pula dipersembahkan secara ikhlas.
Dalam pandangan Al Quran, yang sampai kepada Allah dalam suatu kurban bukanlah darah dan daging dari hewan kurban, tetapi ketakwaan dan keikhlasan yang mendasari pelakunya.
<<<<< BACA SELENGKAPNYA PDF BULETIN MASK MEI – JUNI 2023 >>>>>