BULETIN MASK AGUSTUS-SEPTEMBER 2023 : NILAI HIJRAH DALAM PERSPEKTIF TASAWUF (BUYA ARRAZY HASYIM)
Nilai Hijrah Dalam Perspektif Tasawuf
(Dr. Buya Arrazy Hasyim, MA)
Mengutip Hadits yang termaktub dalam Kitab Al-Hikam yang dikarang Oleh Imam ‘athoillah al-iskandari dijelaskan : “Barang siapa yang berhijrah Kepada Allah dan Rasulnya maka Hijrahnya karena Allah dan rasulnya”. Jika diperhatikan Hadits tersebut menjelaskan tentang Keutamaan berhijrah karena Allah dan Rasulnya. Namun ketika berhijrah kepada Allah apakah Allah itu bertempat? Tentu saja tidak karena Allah SWT bukan benda Maka Allah SWT tidak memerlukan tempat. Sehingga jika disebut berhijrah kepada Allah SWT itu bukan berpindah secara Fisik dan dikenal dengan istilah AL-HIJRAH MINAL MADHIYYAH ILA RUHANIYYAH. Berhijrah dari segi Fisik menuju hijrah dalam perspektif Ruhani, berhijrah dari pahala kepada yang punya pahala. Lantas sampai kapan kita beribadah kepada Allah SWT karena semata-mata ingin mendapatkan pahala ?. layaknya seorang yang berniaga kepada Allah SWT…?. Memang hal tersebut di sebutkan dalam Al-Qur’an. Namun ketika itu fase dakwah Nabi Muhammad SAW adalah masih di awal – awal fase Makkah. Sehingga sebuah kewajaran jika para sahabat dijelaskan dengan metode tersebut.
Essensi dari Hadits ini mengajarkan kepada kita barang siapa yang berhijrah kepada Allah SWT, maka seluruh gerak ibadahnya adalah karena Allah SWT. Bukan lagi karena Transaksi Pahala. Ilustrasinya seandainya tidak ada ustad yang mengatakan bahwa Shalat Duha itu mendatangkan Rizki, Pertanyaannya apakah kita masih ingin melaksanakan Shalat Duha…?. Seandainya tidak ada keterangan dalam Hadits yang menjelaskan tentang antara ibadah Umrah yang satu dengan ibadah umrah yang lainnya itu menghapuskan Dosa-dosa dari pelakunya. Apakah kita masih mau menjalankan Ibadah Umrah…?. Seandainya tidak ada Hadits yang menjelaskan bahwa Duduk berdzikir setelah ibadah shalat subuh sampai matahari terbit, maka baginya seperti pahala Ibadah Haji dan umrah yang sempurna. Masihkah kita mau Duduk berdzikir setelah subuh sampai matahari terbit ?. seandainya tidak ada ayat di dalam Al-Qur’an yang menjelaskan Bahwa dengan Berdzikir itu bisa menenangkan hati, masihkah kita berdzikir kepada Allah ?.
Nabi Muhammad SAW menjelaskan hal tersebut sebagai bentuk pendekatan dakwahnya kepada para sahabat yang masih Awam. Akan tetapi metode dakwah yang berbeda digunakan kepada Kibaru Sahabat yang memang sudah mengenal Allah (Ma’rifatullah) tidak lagi diajarkan seperti itu dimana beribadah Kepada Allah SWT semata-mata karena Mengharapkan Pahala, Namun Ibadah mereka murni semata-mata untuk mencari Keridhan Allah. Ilahi Anta Maqshudi Wa Ridhoka Matlubi.
Oleh karena itu janganlah kita beribadah kepada Allah SWT seperti seorang anak kecil, yang hanya mau beramal apabila mendapatkan ancaman atau iming-iming pahala, jika kita masih seperti itu maka sayugyanya kita harus mengintropeksikan diri kita, sudah berapa lama kita beribadah seperti anak kecil…? Disinilah perlunya kita berhijrah yang bersifat Ruhaniyah dalam Beribadah kepada Allah SWT yang hanya mengharapkan Keridhaan dari Allah SWT Semata.
Umumnya diri kita dididik layaknya seorang pedagang dan Pembeli, dan sangat jarang dididik untuk menjadi orang yang tulus mencintai, layaknya seorang suami-istri yang tulus dalam mencintai Pasangan hidupnya, sejatinya jika kita mencintai pasangan hidup kita maka ketahuilah disitu Allah SWT sedang mengajarkan kepada Kita tentang Sifat Jamal-(Keindahan)nya Allah SWT. Seolah-olah Allah SWT berkata kepada para hambanya : Wahai Hamba-hambaku Cintailah aku apa adanya. Sehingga Allah SWT disebut dalam Kitab Hadits Imam Bukhari. “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai Sifat Pencemburu”. Dan umumnya seorang wanita adalah makhluq yang senantiasa memiliki sifat pencemburu, karena itu adalah percikan dari Sifat Allah SWT.
Dikisahkan Imam Abu Khatib al-Waziri yang menukil kalam dari Imam Abu Yazid (w.261 H). Dimana imam Abu Yazid didatangi oleh seorang sahabatnya yang bertanya kepadanya. Wahai Tuan syaikh Abu Yazid tolong beri aku nasihat, maka tuan syaikh abu yazid pun menjawab “Wahai sahabatku Jika engkau diberikan kenikmatan Dunia (Farasy) dan kenikmatan Akhirat (Arasy) Maka katakanlah Aku tidak menginginkan kenikmatan tersebut, namun yang aku inginkan adalah dapat bertemu dengan Dzat yang menciptakan kenikmatan tersebut yaitu Allah SWT. Inilah yang disebut dengan Hijrah versi Imam Abu yazid yang notabene-nya adalah Imam Salafusshalih.
Pun demikian dengan Imam Abu Sulaiman Addarani yang menjelaskan : Andaikan aku disuruh memilih antara Sholat 2 Rokaat dengan Kenikamatan Surga Firdaus, Niscaya aku akan memilih Sholat 2 Rokaat, karena jika aku memilih Surga Firdaus itu adalah karena keinginan dari nafsuku semata, Sedangkan ketika aku melaksanakan Sholat 2 Rokaat maka saat itu aku sedang bersama pemilik Surga Firdaus yaitu Allah SWT.
Ilustrasinya jika kita sedang duduk bersama dengan orang yang kita cintai apalagi lawan jenis maka seolah-olah waktu berjalan begitu cepat dan tidak terasa, dan rasanya masih ingin berlama-lama dengannya. Hal Itu kita rasakan baru bersama makhluk yang kita senangi. Sebagai seorang laki-laki merasa nyaman jika bersama dengan seorang wanita yang cantik wajahnya dan bagus budi pekertinya, pun sebaliknya seorang wanita juga merasa nyaman dengan seorang laki-laki yang baik akhlaqnya sehingga bisa membuatnya merasa nyaman, terlebih lagi jika Nyaman Dompetnya.
Ketika bersama Dengan orang yang kita senangi waktu yang begitu lama maka akan dirasa sangat cepat, lantas bisakah kita merasakan hal tersebut ketika sedang bersama Allah SWT ?. Kenapa banyak orang yang membayangkan ketika bersama Allah SWT itu menakutkan. Apakah karena kita dididik sejak lama Bahwa Allah SWT itu adalah Dzat yang selalu memberikan ancaman ?.
Selengkapnya dapat dibaca di Buletin MASK Agustus – September 2023