INFORMASI TERKINI
  • 7 bulan yang lalu / Dapatkan Informasi Kegiatan Terupdate Masjid Agung Sunda Kelapa Dapat di Akun Instagram (@masjidagungsundakelapa)
WAKTU :

KHAZANAH ILMU : SEKILAS KONSEP MANUSIA DALAM ISLAM (DR. KH. A. Nur Alam Bakhtir)

Terbit 28 September 2023 | Oleh : Tatyana Virgiani | Kategori : Bidang Dakwah Peribadatan / KHAZANAH ILMU
KHAZANAH ILMU : SEKILAS KONSEP MANUSIA DALAM ISLAM (DR. KH. A. Nur Alam Bakhtir)

SEKILAS KONSEP MANUSIA DALAM ISLAM

Oleh DR. KH. A. Nur Alam Bakhtir – Dewan Pakar Masjid Agung Sunda Kelapa

Konsep manusia dalam Islam, disyaratkan dalam surat al-Insân ayat 1, menurut Quraish Shihab, bahwa “Manusia pernah tidak ada sebelumnya.”‘ Menurut A. Yusuf Ali : Tidak ada wujud (Non existence) atau wujud seperti tanah liat tanpa nyawa (exsistence as clay without life). Menurut Ibnu Katsir, Lalu Allah mengeluarkan manusia menjadi ada. Artinya menurut Al-Baghawi, bahwa Manusia diciptakan di dalam kandungan (al-arhâm) di dunia ini. Terkait proses penciptaan manusia eksplisit diisyaratkan di dalam surat Al-Mu’ minun: 12-16. Substansinya, bahwa manusia diciptakan Allah dari intisari tanah yang dijadikan nuthfah dan disimpan di tempat yang kokoh (qarûr makîn). Disebutkan sebagai tempat kokoh (harîz) sungguh menakjubkan dikarenakan keberadaan Rahim di dalam surat al-Zumar ayat 6, dijuluki dengan tiga kegelapan (zulumât tsalâts).

Maksud dari tiga kegelapan itu Menurut al-Baghawi : Pertama, kegelapan dalam perut. Kedua, kegelapan dalam kandungan. Ketiga, kegelapan tembuni atau ari-ari (masyimâh). Menurut Maurice Bucaille, bahwa: “Para ahli tafsir modern mengartikannya sebagai tiga bagian anatomic yang memelihara bayi dalam kandungan : dinding perut (plasenta), Rahim (membrane), dan zat-zat pembungkus bayi (cairan aminotik).”

Fakta ilmiah menunjukkan bahwa manusia diciptakan dari tanah (turâb) atau thîn, lalu dari saripati tanah menurut Zaghloul El-Naggar, “Sebagai petunjuk yang benar-benar luar biasa, karena tidak seorang pun manusia mengetahui fakta ini pada masa turunnya wahyu dan tidak pula beberapa abad sesudahnya.” Terbukti elemen yang ada pada tanah: nitrogen, fasfor, kalsium, kalium, magnesium dan karbon, ada pula pada manusia. Dari saripati tanah dijadikan nutfah disimpan di tempat kokoh (Rahim). Kemudian nuthfah dijadikan darah yang melekat di dinding Rahim (‘alaqah). Lalu alaqah dijadikan mudghah, kemudian mudghah dijadikan tulang belulang (‘izâmá), lalu tulang dibalut dengan daging yang kemudian dijadikan-Nya makhluk lain.

Kemudian dijelaskan pula dalam surat al-Sajdah ayat 7-9, bahwa setelah kejadian manusia dalam kandungan mengambil bentuk yang disempurnakan, lalu ditiupkan ruh ciptaan Allah Ta’ala dan dijadikan-Nya pada manusia pendengaran, penglihatan dan perasaan (fu’âd). Setelah itu, Ali Yafie menyatakan, Al-Qur’an mengisyaratkan perubahan yang sangat mendasar. Menurut Al-Nahlāwi bahwa: Allah telah menciptakan bagi manusia pendengaran, penglihatan dan hati (fu’âd) agar kita berfikir, merenungkan dan memandang dengan pandangan yang bersih. Dan memperhatikan apa yang ada di sekeliling kita, kemudian kita memurnikan keadaan itu dengan akal dan hati kita agar kita dapat mempergunakan apa yang telah ditaskhirkan (ditundukkan) Allah untuk kita.

Dalam Hadits Al-Arba’în diriwayatkan Bukhari-Muslim, Imam Nawawi menyatakan, bahwa: Janin diciptakan seratus dua pulah hari dalam tiga tahapan. Setiap tahapan selama empat puluh hari. Empat puluh hari pertama berupa nuthfah, empat puluh hari kedua berupa ‘alaqah, dan empat puluh hari ketiga berupa mudghah, dan pada hari ke seratus dua puluh, Malaikat meniupkan ruh (al-rûh) kepadanya. Dari ayat dan Hadits di atas tampak jelas, bahwa menurut Harun Nasution: Manusia tersusun dari dua unsur, materi dan imateri, jasmani dan ruhani. Tubuh manusia berasal dari tanah dan ruh atau jiwa berasal dari substansi imateri di alam ghaib. Tubuh pada akhirnya akan kembali menjadi tanah dan ruh atau jiwa akan pulang ke alam ghaib.  Begitu pula menurut Zakiah Daradjat, bahwa “Manusia merupakan persenyawaan antara jasad dan ruh. Manusia merupakan makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh sekaligus. Manusia adalah makhluk jasadiah sekaligus ruhaniah, bukan jasad murni dan bukan pula ruh murni. Kedua elemen itu membentuk sebuah jati diri manusia.”

Menurut Naquib Al-Attas, bahwa: Ruh manusia itu merupaka sesuatu yang tidak mati dan selalu sadar akan dirinya. la adalah tempat intelejible dan dilengkapi dengan fakultas yang memiliki sebutan berlainan dalam keadaan berbeda, yaitu h jiwa (nafs), hati (qalbu) dan intelek (aql). Lebih jelasnya menurut Al-Attas, setiap lafal itu memiliki makna aspek fisik dan aspek spiritual: “Ketika bergelut dengan sesuatu yang berkaitan dengan intelektual dan pemahaman, ruh disebut intelek (‘aql). Ketika mengatur tubuh, ia (ruh) disebut jiwa (nafs). Ketika sedang mengalami pencerahan intuisi, ia disebut hati (qalbu). Dan ketika kembali kepada dunianya yang abstrak, ia disebut ruh (rûh).

Menurut Muhamad Zuhaili: Dengan akal manusia bisa berfikir (al-tafkir), memiliki perhatian (al-wa’y), punya ke-sadaran (al-idrâk), merdeka (al-huriyyah), berusaha memilih urusan (ikhtiyâr li-al-umûr). Dengan akal manusia mampu membedakan yang baik dan yang buruk, dan dapat menjadi seorang alim (‘alimâ). Dan karena akal pula Allah menjadikan manusia tuan dan khalifah di bumi. Dengan ruh (rûh)-nya yang diberikan Allah pada manusia, manusia mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan Allah Zat Yang Maha Pencipta, dan Maha Pengatur. Dan dengan fisik (al-jasad) vang terdiri dari materi (al-mâdah), manusia mempunyai syahwat, gharizah, dan dengan gharizah manusia mempunyai kecenderungan seperti yang dimiliki makhluk lainnya. 

Sangat beralasan jika Ibnu Al-‘Arabi al-Maliki mengatakan : “Tidak ada bagi Allah makhluk yang terbaik dari (ciptaan-Nya) selain manusia.” Allah menciptakan manusia hidup, berilmu, berkemampuan, punya kehendak, bercakap-cakap, mendengar, melihat, mengatur, bijaksana. Semua itu merupakan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Suci, dan sebagian ulama mengambil iktibar darinya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi S.A.W. riwayat Bukhari, Muslim, dan Ahmad: “Bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuknya yang sempurna seperti sifat Allah yang sempurna (Inna Allâh khalaqa âdama ‘alâ shûratih). Dan dalam riwayat lain: “ala shûrah al-rahmân“. Maka hal ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang terbaik secara batin, dan makhluk Allah yang terbaik secara zahir. Karena itu menurut Ibnu al-Arabi para Filosof menyatakan: “Bahwa manusia merupakan alam kecil (al-‘âlam al-ashghar), semua elemen yang ada pada makhluk terhimpun dalam diri manusia.”

Menurut Harun, “Tubuh mempunyai daya fisik atau jasmani, mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium dan daya gerak. Baik gerak di tempat seperti menggerakkan tangan, kepala, kaki, mata dan sebagainya, maupun (gerak) pindah tempat, seperti pindah tempat duduk, keluar rumah dan sebagainya.” Adapun dalam konteks ruh, Harun tampakya berbeda pandangan dengan Al-Attas. Bagi Al-Attas ruh dan jiwa (nafs) tidak identik sama. Bagi Al-Attas sabutan jiwa (nafs) hanya digunakan ketika ruh mengatur tubuh atau jasad. Sedangkan Menurut Harun, “Ruh atau jiwa, juga disebut al-nafs mempunyar dua daya : dava berpikir yang disebut akal yang berpusat di kepala dan daya rasa yang berpusat di qalbu yang berpusat di dada.”

Jika kembali pada Al-Qur’an, perkara ruh sepenuhnya urusan dan rahasia Tuhan. Manusia tidak diberi tahu tentang hakikat ruh, dan ilmu yang dimiliki manusia sangat terbatas (Al-Isra: 85). Atas dasar ayat ini menunjukkan bahwa pandangan Al-Attas terkait jiwa (nafs) lebih sejalan dengan perspektif Al-Quran. Al-Quran menjelaskan bahwa ruh (rûh) hanya cenderung kepada hal-hal positif ansich. Sedangkan nafs atau jiwa diidentikan dengan nafsu. Dan Al-Qur’an mengklasifikasi nafsu (nafs) dalam tiga kategori:

  1. Pertama, Nafs muthmainnah (Al-Fajr: 27). Artinya di antaranya : jiwa yang tenang, jiwa yang yakin pada sesuatu yang dijanjikan Allah, jiwa yang damai, jiwa yang diridhai. Dengan kata lain, jiwa atau nafsu yang mendorong kepada hal-hal positif-konstruktif dan diridhai Allah.
  2. Kedua, Nafs lawwâmah, yaitu jiwa yang amat menyesali (Al-Qiyâmah: 2). Jiwa yang mencela yang empunya karena kecerobohannya. Nafsu lawwamah selalu terombang ambing ingin melakukan yang baik dan ingin melakukan yang jelek peluang setan menggoda manusia agar tetap berada pada posisi kejelekan tersebut.
  3. Ketiga, Nafs al-ammarah, nafsu yang selalu menyuruh kepada kejahatan (Yusuf: 53). yaitu nafsu yang cenderung kepada yang negatif-destruktif. Di antaranya kata Al-Mawardi menyuruh untuk berprasangka buruk (al-ammârah bi-sû‘ al-zann).

Terkait dengan peluang setan menggoda manusia, menurut Al-Razi, setan memperdayakan manusia melalui tiga pintu: al-Syahwât, al-Ghadhab, dan al-Hawa. Padanan syahwat adalah binatang (bahimiyyah), al-ghadhab adalah serigala (sabu’iyyah), dan al-hawa adalah setan (syaithâniyyah). Syahwat itu berbahaya (âfah), akan tetapi ghadhab lebih berbahaya dari syahwat. Ghadhab itu berbahaya, akan tetapi al-hawâ lebih berbahaya dari ghadhab. Karena pengaruh syahwat manusia berbuat fahsya, aniaya terhadap dirinya sendiri (zâlim li-nafsih). Akibat dari ghadhab, manusia berbuat munkar, aniaya terhadap orang lain (zâlim li-ghairih). Akibat dari al-hawa, kezaliman manusia dapat melampaui batas (al-baghy).

Allah memperingatkan agar manusia menjauhi tiga kategori kezaliman itu (al-Nahl: 90). Daritiga nafsu; syahwat, ghadhab dan al-hawa inilah menurut Al-Razi, semua perangai buruk (akhlâq al-qabîhah) manusia itu bersumber. Batas akhlak terburuk syetan adalah membisikkan (al-waswasah). Adapun batas akhlak terburuk manusia adalah hasad (al-hasd) orangnya disebut hâsid. Bahkan menurut Al-Razi ada yang berpendapat bahwa: “al-hâsid asyarr min iblis“, orang hasad itu lebih jahat dari pada Iblis.

Dari penjelasan di atas dapat dintisarikan, bahwa hakikat manusia terdiri dari beberapa elemen mendasar :

  1. Pertama, adanya persenyawaan unsur jasadi dan ruhani melekat pada diri manusia.
  2. Kedua, unsur jasad berasal dari tanah lalu mati dan unsur rohani dari ruh ciptaan Allah tidak mati.
  3. Ketiga, unsur jasad memiliki indera tersusun paling indah dan sempura dibanding makhluk lain.
  4. Keempat, dalam elemen jasad terdapat unsur syahwat, ghadhab dan al-hawâ.
  5. Kelima, ada unsur fisik, ruh, intelek (aql), jiwa (nafs), hati (qalbu) dengan fungsinya masing-masing.
  6. Keenam, baik jasad maupun roh keduanya adalah makhluk ciptaan Allah, dan pada akhirnya kembali kepada-Nya.
  7. Ketujuh, dalam diri manusia terdapat elemen llahiyah, mulkiyah, dan insaniyah.

 

LIMA TERMA (SEBUTAN) MANUSIA DALAM AL-QUR’AN

Al-Quran memperkenalkan lima terma utama mengacu pada mana pokok manusia, al-Basyar, al-Insân, al-Insa, al-Nâs, dan Bani Adam. Penggunaan kelima terma itu secara eksplisit dan implisit memiliki makna sangat penting. Untuk menghindari agar tidak terjadi kerancuan makna kata (semantic), kita harus memahami dalam konteks apa manusia disebut dengan terma al-Basyar maupun terma al-Insân, dan al-Insa, dan dalam konteks apa pula manusia disebut dengan terma al-Nâs maupun terma Banî Adam. Sebab masing-masing dari kelima terma tersebut memiliki stressing dan aksentuasi makna tersendiri di mana satu terma dengan terma lainnya saling melengkapi dan menyempurnakan. Sehingga kelima terma tersebut merupakan satu kesatuan integral yang tidak terpisahkan yang mendeskripsikan manusia secara holistic dan komprehensif. Ole karena itu, memahami manusia dalam lima terma ini menjadi sangat penting untuk dijadikan paradigma dalam membangun manusia secara utuh (Insân Kâmil).

(Dikutip dari buku “5 Terma Manusia Dalam Al-Qur’an” oleh DR. KH. A. Nur Alam Bakhtir)

SebelumnyaINTERNAL AUDITOR MASJID AGUNG SUNDA KELAPA HADIRI EXECUTIVE FORUM YPIA SesudahnyaKISAH HIDAYAH : GIAN CARLO, DULU PUTRA ALTAR SEKARANG DIREKTUR INTERNATIONAL MUALLAF CENTER

Berita Lainnya